<div style='background-color: none transparent;'></div>
MAGEA SANOK SEMANEI SLAWEI KUTE NE,MARO BA ITE SELALU JEMAGO PERSATUAN LEM MBANGUN TANEAK TANAI TE,BLOGGER ADE BA ALAT MAGEA ITE UNTUK SELALU JEMALIN SILATURRAHMI.

Profil Kutai Topos Jurukalang

Kutai Topos atau dalam bahasa Indonesianya di sebut Tapus merupakan salah satu desa yang terletak di hulu sungai ketahun Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu,desa ini cukup subur dan berudara sejuk. Sehingga dengan alam seperti itu,penduduk yang 100% suku rejang ini kebanyakan bermata pencaharian tani,ada juga yang berdagang,pegawai negeri sipil,dll.Kutai Topos awalnya hanyalah sebuah peradaban kecil yang berada di hulu sungai ketahun,menurut para penghulu adat desa ini merupakan salah satu desa tertua dalam sejarah peradaban suku rejang mulai dari zaman Ajai sampai pada Zaman Biku serta zaman sekarang ini.
Sebuah desa yang sering di juluki tanah obat ini memiliki keunikan tersendiri mulai dari masyarakatnya yang ramah serta posisi desa yang cukup menarik jika di perhatikan dari kejauhan,di pagari perbukitan aliran sungai,gais pigai (garis yang mengelilingi desa) serta letaknya yang cukup tinggi dari aliran sungai ketahun. Orang tua-tua dulu sering berfalsafah bahwa perbukitan adalah pagar untuk desa tapus,letak desa yang tinggi dari sungai untuk mengantisipasi terjadinya banjir serta gais pigai merupakan pagar desa dari amukan gajah yang sering masuk desa pada zaman itu. Seiring perguliran zaman, desa ini pun berkembang dan lebih ramai dari sebelumnya,dari segi pendidikanpun tidak ketinggalan dari desa-desa lain. Sehingga dari desa ini bermunculan serjana-serjana yang cukup berpengaruh baik di kabupaten maupun di propinsi. Kesadaran pendidikan yang cukup berkembang pada masyarakat Tapus telah mengantarkan generasi desa ini untuk maju dan berkecipung di dunia kemasyarakatan dan pemerintahan.
Desa tapus bertetangga dengan Desa Tik Sirong,Ajai Siangm,Suka Negeri,Talang Baru,Talang Donok,Tanjung,Serta desa Bajak. Desa yang terletah lumayan jauh dari pusat pemerintahan Lebong ini memiliki potensi wisata Yang Tinggi,di antaranya air terjun Ekor Kuda terletak di sungai Tik semulen,air terjun Sapet,Batu Bahan Rumah Pahit Lidah,Batu Balimo,konon Batu ini menurut sejarah merupakan tempat rapatnya para pendiri suku rejang untuk menetapkan adat istiadat pada masyarakat suku rejang,yang sekarang di kenal dengan Adat Tiang Pat Lemo Ngen Rajo,dan masih banyak potensi wisata di desa ini yang belum di olah,baik masyarakat maupun pemerintah Kabupaten Lebong sendiri. Pada tahun 2008 dengan persesetujuan Bupati Lebong,daerah yang 100% Muslim ini di mekarkan menjadi Kecamatan. Dengan berdirinya kecamatan Topos (Tapus) Maka Kutai Topos tidak lagi menginduk kepada Kecamatan Rimbo Pengadang sebagaimana biasanya.

Demikianlah Profil singkat Kutai Topos (Tapus) Semoga kutai ini terus berkembang dan menuju arah yang lebih maju,serta berpegang teguh pada Agama serta adat istiadat yang tetap berdiri kokoh di Kutai ini. Oleh : H Anton

Jurukalang dalam Serpihan Catatan

Jumat


Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, ada yang menyakini bahwa suku ini bersasal dari Sumatera Bagian Utara, ada juga sebagai yang menyakini bahwa Rejang berasal dari Majapahit bahkan sebagai masyarakat meyakini bahwa sebagian besar berasal dari jazirah Arab. Mengenai asal usul Rejang sangat sedikit sekali literatur maupun hasil penelitian yang lebih lengkap tentang asal usul bangsa Rejang, namun dalam menyusun sejarah Adat Jurukalang yang merupakan kesatuan masyarakat komunal, AMARTA mencoba menyusun serpihan-serpihan cerita turun temurun yang kemudian mencoba untuk mengelaborasi dengan beberapa tulisan tentang Rejang.

Jurukalang dalam bahasa lokal disebut dengan Jekalang yang pada awalnya hanya terdiri dari 2 kutai atau dusun, dalam sejarah secara turun temurun kutai tersebut adalah Kutai Topos dan Kutai Teluk Diyen, kutai-kutai ini dikenal sejak zamannya pemerintahan Marga Jurukalang di bawah pimpinan Bikau Bembo, namun sebelum zaman Bikau Bembo yang memerintah Marga Jekalang ini diwilayah ini terdapat beberapa Kutai dibawah pimpinan Ajai Siang antara lain Kutai Pukua, Kutai Mawua, Kutai Menai, Kutai Sebayem dan Kutai Titik.

Jurukalang adalah salah satu Petulai dalam sejarah suku bangsa Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]

Catatn-catatan lain tentang Kedudukan Jurukalang sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya ole orang-orang di satu bang, harus diakui Rejang Lebong.[2]

Selain serpihan catatan, sejarah Jurukalang kebanyakan disampikan secara turun temurun, hampir tidak ada catatan yang ditulis oleh masyarakat lokal tentang Jurukalang, dari wawancara yang dilakukan kebanyakan menceritakan bahwa di Jurukalang sebelum ditempati oleh masyarakat yang mereka sebut ‘masyarakat beradat’ kebanyakan mereka mulai menceritakan sistem lokal yang diyakini, bahwa sebelum kejadian asal warga komunitas tersebut diwilayah ini terdapat beberapa manusia ‘dewa’ dan dalam bahasa lokal di sebut diwo-diwo yang berada di Istana Ninik Mekedum Rajo Diwo masing-masing mereka adalah Raden Serdang Lai, Raden Serdang Titik, Cito Layang, Puteri Emban Bulan, Puteri Serasa Dewa, Puteri Gading Cempaka dan Puteri Serindang Panan.[3]

Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat, Perkembangan dari zamannya dewa-dewi ini kemudian banyak di ceritakan bahwa terdapat Manusia Setengah Dewa bagi masyarakat lokal Jurukalang di sebut dengan Diwo Tu’un Semidang, mereka yang lahir Tu’un Semidang umumnya tidak diketahui dari mana asal usul, di Jurukalang di yakini sebagai Diwo Tu’un Semidang adalah Anok Mecer, Bujang Tungea, Anok Dalam, Lemang Batu, Batu Idak Cene, Bujang Remalun, Semalim Angin atau Seliman Putih dan Burung Binang.[4]

Dari perkembangan Diwo Tu’un Semidang tidak diketahui secara pasti namun dari cerita-cerita rakyat (folklore) yang masih sangat dipercayai oleh warga komunitas Jurukalang bahwa pasca setelah Diwo Tu’un Semidang hidup masyarakat nomanden selama 5 tahap[5].

Ada beberapa bagian cerita pada tahap atau generasi ini dimana hidup masyarakat komunal dengan sistem ’meduro kelam’[6], yang dibagi menurut perkembangan generasi, generasi pertama biasa disebut dengan Jang Bikoa (Rejang Berekor) dari beberapa cerita yang coba disimpulkan oleh Team AMARTA Rejang Bikoa bukalah Rejang yang sedang mengalami evolusi biologis seperti teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera atau perubahan atas proses jangka waktu tertentu yang berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi Zaman Rejang Bikoa adalah penjelasan dari kondisi Evolusi Peradaban dan budaya masyarakat di masa tertentu, evolusi peradaban yang dimaksud adalah proses peralihan pengenalan sistem adat dari Meduro Kelam menjadi manusia yang mulai mengenal kearifan-kearifan tertentu dalam mengatur proses persingungan antar meraka, dengan alam maupun dengan kepercayaan tertentu, sedangkan penyebutan budaya masyarakat adalah kebiasaan sebuah komunitas tertentu dalam menyelesaikan sebuah perkara yang tak pernah berujung.

Zaman Segeak yang merupakan perkembangan dan penyebutan zaman Bikoa, dalam istilah lokal zaman ini hanya untuk menyebutkan pola-pola hidup mereka yang nomaden dan food gatering, kecenderungan masyarakat Rejang yang hidup di zaman ini adalah bermata pencaharian berburu dan mengumpulkan makanan, hidup berpindah-pindah, tinggal di gua-gua, dalam sejarah Rejang menurut Bapak Kadirman SH[7] ada kecenderungan yang besar masyarakat ini hidup dibawah permukaan tanah dia menyebutkan bahwa Gua Kazam yang terletak di Lebong Atas merupakan tempat hunian orang Rejang Zaman ini dan banyak ditemui peralatan-peralatan masyarakat di wilayah ini, alat-alat yang digunakan terbuat dari batu kali yang masih kasar, tulang-tulang dan tanduk rusa, dari cici-ciri yang ada kemungkinan zaman Segeak ini adalah zaman batu tua (Palaeolithikum) dan Zaman batu tengah (Mesolithikum). Belum ada sistem budidaya kebutuhan makanan sehingga semuanya diambil dari alam, atas kondisi ini kemudian banyak menyebutkan bahwa masyarakat yang hidup pada zaman pola food gatering ini memakan semua yang di anggap bukan makanan yang secara medis mengangu fisik mereka.

Perkembangan dari Zaman Segeak ini, masyarakat komunal mulai meninggalkan tradisi-tradisi Zaman Segeak, hidup relatif menetap dan mulai melakukan budidaya-budidaya pertanian sehingga zaman ini disebut dengan Rejang Saweak, saweak dalam bahasa Rejang adalah sawah (suatu tempat untuk bercocok tanam jenis padi). Mereka umumnya menetap disepanjang hulu sungai yang banyak terdapat di wilayah Jurukalang seperti Sungai Ketahun, Sungai Buah, Sungai Baloi, dari beberapa bukti yang ditingalkan pola pertanian mereka umumnya dengan membuat kolam-kolam besar di tengah-tengah hutan, mereka tidak tinggal di dalam gua, seperti masyarakat primitif lainnya karena diwilayah ini hampir tidak ditemukan gua-gua yang menunjukan sebagai tempat tinggal, umumnya mereka membuat pondok yang dikenal sebagai serudung untuk tempat tinggal.[8]

Perkembangan yang penting adalah Zaman Ajai, Ajai itu sendiri berasal dari kata majai yang berarti pimpinan suatu kumpulan komunitas tertentu, dalam sejarah Rejang terdapat 4 Ajai yang memerintah di wilayah Kutai Belek Tebo (wilayah Lebong Sekarang). Dari beberapa catatan WL De Sturler, pada zaman Ajai ini Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, sekumpulan manusia pada zaman ini sudah hidup secara menetap merupakan satuan masyarakat komunal, belum ada kepemilikan pribadi pada zaman ini, semua yang ada merupakan hak bersama, pentinnya kepemimpinan Ajai ini sangat dihormati oleh masyarakat komunal namun Ajai dianggap sebagai anggota biasa dari masyarakat hanya saja diberi tugas dalam memimpin.[9]

Yang paling diketahui oleh masyarakat Jurukalang adalah Ajai Siang, namun ada kepercayaan bahwa bukan hanya Ajai Siang ini saja yang memimpin komunal yang dimaksud tetapi masih ada Ajai-Ajai lain yang hilang dari sejarah masyarakat Jurukalang. Namun yang terpenting ketika Ajai Siang ini memimpin di wilayah Rejang di datangi 4 orang bikau yang kemudian dipercayai memperbaharui peradaban di wilayah Rejang tentunya termasuk wilayah Jurukalang, terjadi perdebatan panjang tentang asal usul para bikau ini, sebagian menyakini bikau berasal dari majapahit dan sebagian besar meyakini berasal dari jazirah arab, dan sebagian ada yang meyakini dari China.

Argumen menyebutkan bahwa Rejang secara umum berasal dari china dibuktikan dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa bangsa China telah datang ke wilayah ini sejak tahun 225-216 SM atau 147–138 tahun saka, mereka umumnya berasal dari negeri Hyunan (China daratan), dengan bahasa Mon. Bahasa inilah yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboya dan sebagian Korea, dan pertama kali mendirikan negeri bernama Lu-Shiangshe yang berarti sungai kejayaan atau sungai yang memberi kehidupan/harapan atau sungai emas, yang penduduknya disebut dengan sebutan Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang, sebuah tempat yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera, pembuktian ini kemudian diperkuat Suatu hal yang menarik adalah ditemukannya mata uang China (Numismatic) yang bertuliskan Chien Ma berangka tahun 421 Masehi di Bengkulu Utara (Pulau Enggano). Mata uang yang Sama juga ditemukan di Criviyaya atau Criwiyaya (Baca: Palembang) dan di Tarumanagara (Baca: Jakarta). Dari kata CHIEN MA inilah muncul kata Cha-Chien (Caci=uang dalam bahasa Rejang).[10]

Sementara dari sejarah yang coba disusun oleh penulis yang disadur dari cerita secara turun temurun bahwa komunitas Jurukalang khususnya Bikau Bembo dan keturunanya berasal dari Jasirah Arab, salah satu bukti yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik di Jurukalang adalah Pedang yang bertulisan arab, pedang ini dipercayai milik dan peningalan oleh Bikau Bembo yang di pelihara oleh keluarga ahli waris yang tinggal di Desa Talang Baru. Dari sejarah yang didapati dari ninik mamak bahwa Bikau Bembo berasal dari Istambul dan merupakan anak dari Zulkarnaene, apakah ada hubungan dengan Alexander Agung (Alexander the Great) yang merupakan anak kepada Maharaja Philip II dari Macedonia yang ibunya berasal dari surga yang boleh jadi adalah Puteri Olympias dari Epirus, akan sangat dini jika disebut ada hubungan dengan Alexander the Great dan Puteri Olympias dari Epirus, biasanya sejarah yang diturunkan secara turun temurun dalam prosesnya ada bagian yang tidak boleh di publish tanpa alasan yang jelas dan ada transfer pengetahuan yang tidak sempurna maupun dipengaruhi oleh pola pikir dan pengaruh eksternal bagi orang yang menerima cerita tersebut.

Dalam cerita yang percayai di Jurukalang Bukau Bembo yang menikah dengan salah satu Puteri Ajai Siang yang bergelar Ajai Bijar Sakti yang bernama Dayang Regiak, dari perkawinan ini melahirkan 7 orang putra yang semuanya lahir di Jurukalang masing-masing putra tersebut adalah;

1. Rio Menaen
2. Rio Taen
3. Rio Tebuen
4. Rio Apai
5. Rio Mangok
6. Rio Penitis
7. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

Yang terakhir dipercayai sebagai jelmaan dari kedua orang tuanya, dalam proses kelahiranya diceritakan bahwa kedua orang tuanya berkeinginan untuk mencukupi anaknya menjadi 7 orang sehingga kedua orang tuanya (Bikau Bembo dan Dayang Regiak) melakukan pertapaan dan meminta kekuatan para dewa, pada hari ke 7 ritual tersebut Bikau Bembo dan isterinya Dayang Regiak hilang, Raib dalam bahasa lokal tempat Raib/hilangnya Bikau Bembo ini saat dikenal dengan Keramat Topos, namun tiba-tiba di lokasi ritual tersebut ada seorang bayi yang kuku tangannya panjang sampai ke siku sehingga di sebut Rio Satangai Panjang.

Ke tujuh anak Bikau Bembo ini kemudian menyebar di wilayah Rejang yang sekarang, Rio Menaen membentuk Kutai di Teluk Diyen, Rio Taen berkedudukan di Kutai Donok (Kota Donok sekarang), Rio Tebuen kemudian membentuk di Komunitas Jurukalang di Lubuk Puding di perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan, Rio Apai di Talang Useu Lais kemudian disebut Rejang Pesisir begitu juga dengan Rion Mangok membentuk komunitas Jurukalang di Gading Pagar Jati, sedangkan Rio Penitis membentuk Komunitas Jurukalang di Musi, hanya Rio Setangai Panjang yang berkedudukan dan meneruskan kepemimpinan di Tapus Jurukalang.

Sampai saat ini dokumentasi yang masih di ingat oleh tua-tua di Jurukalang, dari generasi Bikau memimpin kelembagaan Petulai Jurukalang sampai dibubarkannya marga akibat kebijakan sentralis negara melalui UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Petulai Jurukalang dipimpin 19 Generasi Kepala Persekutuan, ke 17 orang yang dimaksud adalah;[11]

1. Bikau Bembo

2. Rio Taen

3. Tuan Diwo Rio Setangai Panjang

4. Rio Tado

5. Depati Singo

6. Depati Sugon

7. Depati Kulon

8. Sipan

9. Rajo Sediwo

10. Djike

11. Salam

12. Terusan

13. Ratu Salam

14. Sijar

15. Ali Asar

16. Ali Kera

17. Abdul Muin

18. Gulam Ahmad

19. Sabirin Wahid

Rio Setangai Panjang hanya mempunyai 6 orang putra putra yang ke semuanya berkedudukan di Tapus sebagai pusat kedudukan Marga Jurukalang, masing-masing putra putri tersebut adalah Mangkau Bumai, Temengung, Dayang Regini, Dayang Reginang, Malim Rajo dan Pedito Rajo. Kebiasaan di Jurukalang yang meneruskan kepemimpinan Marga adalah Putra tertua dari generasi sebelumnya dan kemudian diberi gelar Depati atau Pesirah, ketika pemerintahan Belanda baru kemudian ada proses demokratisasi dalam pemilihan kepemimpinan.

[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178

[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18

[3] Cerita ini kebanyakan di ceritakan di Desa Tapus oleh Bapak Salim Senawar

[4] Diwo Tu’un Semidang atau tun semidang adalah penyebutan dalam bahasa rejang Jurukalang dimana ada kesulitan untuk menyebukan asal-usul seseorang secara pasti

[5] Tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai 5 tahap ini, namun gambaran yang coba ditangkap oleh penulis adalah 5 generasi/keturunan satu klan, jika di asumsi 1 tahap/generasi adalah 100 tahun maka lamanya generasi ini adalah 500 tahun

[6] Meduro Kelam, adalah istilah lokal untuk menyebutkan Priode tanpa peradaban atau sering di sinonim dengan Jahilliah.

[7] Kadirman SH adalah ketua Badan Musyawarah Adat Kabupaten Rejang Lebong dan penyusun buku Rejang Ireak Cao

[8] Ada banyak pendapat mereka juga tinggal di dataran-dataran landai di sepanjang Danau Tes dan berpendapat sebagain besar masyarakat primitif Rejang hidup dan menetap di dalam gua-gua di wilayah Lebong yang sekarang seperti di Gua Kasam di Lebong Atas, dan sepertinya masyarakat komunanal yang berada di Jurukalang sampai saat tidak ada bukti-bukti yang menunjukan gua-gua di Jurukalang yang digunakan sebagai tempat tingal atau menetap. Serudung adalah sejenis pondok sederhana sampai saat ini masih banyak ditemui di wilayah Jurukalang biasanya ketidak akan membuka lahan perkebunan masyarakat membuat bangun ini.

[9] W.L. de Sturler, Proeve eener bechrijving van het gebied van Palembang. Groningen 1843 hal 6

[10] Hakim Benardie Sabri, www.metrobengkulu.com

[11] Nama-Nama ini diambil dari dokumentasi catatan Wak Usman Desa Talang Baru

sumber : http://wintopos.wordpress.com
Continue Reading | komentar

Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang

Selasa


Perjalan untuk mendokumentasikan huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio kami berangkat ke Bengkulu. Dengan menggunakan mobil hiline long sasis yang kami beli di Bali pada bulan desember tahun lalu kami berangkat menuju Bengkulu, Tepatnya Bengkulu Utara kampung halamanku. Kami sengaja membeli mobil sendiri biar puas untuk muter-muter Bengkulu dan kedepannya jikalau ada perjalanan yang areanya masih sekitar jawa dan sumatera kami bisa menggunakan kendaraan sendiri biar lebih hemat. Hemat, belajar dari pengalaman disaat kita membuat sebuah film dokumenter tentang impact perkebunan sawit terhadap anak suku dalam di Jambi. Kami harus merental mobil hiline ini dengan harga 400 ribu perhari. Lumayankan kalo kita sewa selama 10 hari lebih plus BBM-nya.

Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritualku karena akan menelusuri sejarah persebarang suku rejang yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)

Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah beginilah jadi lama saya menulisnya ke blog ini. Hasil-hasil wawancara ini saya coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.


Sejarah Rejang

Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.



Cara Adat Rejang yang sudah menghilang

Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.

Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea' dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala' yang memanggil kita.

Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana. "Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya" terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.

Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko' itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung. "Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah" ungkap pak salim.

Sebelum adanya masa orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah sistem kepala marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.

Hilangnya adat istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.

"Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya" tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau.

sumber :http://berangberang.blogdrive.com
Continue Reading | komentar
Photobucket
 
Copyright © 2011. KUTAI TOPOS JURUKALANG . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly TOPOS Blogger