<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Rekomendasi Workshop Politik Masyarakat Adat Lebong

Rekomendasi Workshop Politik Masyarakat Adat Lebong


Sumber : Akar Foundation

PENDAHULUAN

Penguatan pengetahuan local atau pemberian tempat pada pengetahuan local mensyaratkan redefinisi dari pembangunan. Pembangunan yang dimaksud memberi tempat pada pengetahuan lokal sebagai landasan utama yang mensyaratkan ciri-ciri endogen dari pembangunan tersebut. Ciri-ciri dari endogen dari pembanguan yang dimaksud adalah: (1), Unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranata-pranatanya; (2), Kemandirian yakni bahwa komunitas bergantung terutama pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri; (3), Keadilan Sosial; (4), Keseimbangan ekologis yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.


Definisi pembangunan tersebut mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right dan pada giliranya penekanan terhadap pemerintah daerah akan tugas dan kewajibannya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial ekonomi yang mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumber daya alam dan ini hanya dimungkinkan jika desentralisasi dan otonomi berjalan sebagai mana dengan tujuan utamanya.


Otonomi dan desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, untuk memberi peluang lebih besar kepada rakyat untuk berperan di dalam proses penyelengaraan negara, dan untuk memberi peluang kepada rakyat untuk ’mengambil kembali’ sebagian fungsi politik, social, dan ekonomi, termasuk fungsi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya tidak perlu dijalankan oleh negara.


Otonomi dan desentralisasi ini merupakan peluang besar bagi terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah dan memiliki wawasan yang jelas terhadap perlindungan alam. Namun di perlukan suatu perombakan yang mendasar dalam rezim property right atas sumber daya alam, yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat, karena sumber daya alam itulah yang menjadi sandaran utama dan menjadi sumber kekuatan bagi penghidupan yang berkelanjutan dari rakyat di daerah.


Penerapan otonomi daerah sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah harus diarahkan kepada upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan itu, nilai-nilai dalam otonomi daerah yang harus dikembangkan adalah: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintahan, nilai-nilai dalam otonomi tersebut merupakan unsur-unsur dari demokratisasi penyelenggaraan negara.


Dengan demikian, konsep demokrasi, otonomi daerah, dan partisipasi masyarakat merupakan tiga hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pembukaan ruang bagi partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara adalah inti dasar dari negara demokrasi. Demikian juga otonomi daerah, hendaknya juga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan demikian konsolidasi demokrasi hendaknya dibarengi dengan proses menuju penyelenggaraan negara berdasarkan partisipasi masyarakat melalui upaya-upaya perwujudan otonomi daerah.


Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia era “hukum yang berorientasi pada birokrat” yang selama ini mendominasi sistem hukum di Indonesia sudah saatnya diganti dengan hukum yang lebih demokratis, yang melayani dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak, dan penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Proses perancangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia baik secara normatif maupun dalam praktik masih cendrung besifat elitis, tertutup dan hanya memberi peluang yang sangat minimal bagi partisipasi masyarakat luas dalam proses tersebut. Para stakeholders seringkali justru ditinggalkan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, padahal stakeholderes merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap lahirnya suatu peraturan perundang-undangan.


Dalam memaknai otonomi seringkali kita terjebak pada pemahaman bahwa otonomi sebagai tujuan. Padahal apabila kita simak, tujuan penyelenggaraan negara adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut dibuatlah berbagai instrument yang salah satunya adalah otonomi daerah. Dengan demikian otonomi daerah marupakan salah satu instrument dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, keberhasilan penerapan otonomi daerah perlu dukungan berupa perilaku penyelenggara pemerintah (pejabat) yang bersih dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) diperlukan dukungan seperangkat peraturan yang bisa mengarahkan penyelenggara pemerintah melakukan perubahan.


Untuk mengubah pola perilaku penyelenggara pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat ke perilaku baru yang berpihak kepada rakyat dalam suatu komunitas yang demokratis, maka penyusunan instrumen hukum misalnya Peraturan Daerah (PERDA) haruslah dilakukan secara partisipatif dan demokratis. Partisipatif berarti bahwa dalam penyusunannya haruslah melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat dan diulakukan secara terbuka. masyarakat sebagai pihak yang akan terkena dampak pemberlakukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam aturan yang dimaksud haruslah diberi ruang untuk bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam merancang suatu aturan, hendaknya diperhatikan kondisi-kondisi spesifik yang riil ada di masyarakat baik karakter, sumber daya alam, dan sosial budaya. Sehingga aplikas pembangunan berkelanjutan itu harus diimbangi dengan pengetahuan yang otochton atau indigenous dari masyarakat setempat, dan epistemology local ini yang semakin melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin sustainability penghidupan masyarakatnya, maka perlu dicarikan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan dan partisipasi politik. [1]


Definisi pembangunan tersebut mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right dan pada giliranya penekanan terhadap pemerintah daerah akan tugas dan kewajibannya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial ekonomi yang mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumber da
Share this article :
Photobucket
 
Copyright © 2011. KUTAI TOPOS JURUKALANG . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly TOPOS Blogger