<div style='background-color: none transparent;'></div>
MAGEA SANOK SEMANEI SLAWEI KUTE NE,MARO BA ITE SELALU JEMAGO PERSATUAN LEM MBANGUN TANEAK TANAI TE,BLOGGER ADE BA ALAT MAGEA ITE UNTUK SELALU JEMALIN SILATURRAHMI.

Profil Kutai Topos Jurukalang

Kutai Topos atau dalam bahasa Indonesianya di sebut Tapus merupakan salah satu desa yang terletak di hulu sungai ketahun Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu,desa ini cukup subur dan berudara sejuk. Sehingga dengan alam seperti itu,penduduk yang 100% suku rejang ini kebanyakan bermata pencaharian tani,ada juga yang berdagang,pegawai negeri sipil,dll.Kutai Topos awalnya hanyalah sebuah peradaban kecil yang berada di hulu sungai ketahun,menurut para penghulu adat desa ini merupakan salah satu desa tertua dalam sejarah peradaban suku rejang mulai dari zaman Ajai sampai pada Zaman Biku serta zaman sekarang ini.
Sebuah desa yang sering di juluki tanah obat ini memiliki keunikan tersendiri mulai dari masyarakatnya yang ramah serta posisi desa yang cukup menarik jika di perhatikan dari kejauhan,di pagari perbukitan aliran sungai,gais pigai (garis yang mengelilingi desa) serta letaknya yang cukup tinggi dari aliran sungai ketahun. Orang tua-tua dulu sering berfalsafah bahwa perbukitan adalah pagar untuk desa tapus,letak desa yang tinggi dari sungai untuk mengantisipasi terjadinya banjir serta gais pigai merupakan pagar desa dari amukan gajah yang sering masuk desa pada zaman itu. Seiring perguliran zaman, desa ini pun berkembang dan lebih ramai dari sebelumnya,dari segi pendidikanpun tidak ketinggalan dari desa-desa lain. Sehingga dari desa ini bermunculan serjana-serjana yang cukup berpengaruh baik di kabupaten maupun di propinsi. Kesadaran pendidikan yang cukup berkembang pada masyarakat Tapus telah mengantarkan generasi desa ini untuk maju dan berkecipung di dunia kemasyarakatan dan pemerintahan.
Desa tapus bertetangga dengan Desa Tik Sirong,Ajai Siangm,Suka Negeri,Talang Baru,Talang Donok,Tanjung,Serta desa Bajak. Desa yang terletah lumayan jauh dari pusat pemerintahan Lebong ini memiliki potensi wisata Yang Tinggi,di antaranya air terjun Ekor Kuda terletak di sungai Tik semulen,air terjun Sapet,Batu Bahan Rumah Pahit Lidah,Batu Balimo,konon Batu ini menurut sejarah merupakan tempat rapatnya para pendiri suku rejang untuk menetapkan adat istiadat pada masyarakat suku rejang,yang sekarang di kenal dengan Adat Tiang Pat Lemo Ngen Rajo,dan masih banyak potensi wisata di desa ini yang belum di olah,baik masyarakat maupun pemerintah Kabupaten Lebong sendiri. Pada tahun 2008 dengan persesetujuan Bupati Lebong,daerah yang 100% Muslim ini di mekarkan menjadi Kecamatan. Dengan berdirinya kecamatan Topos (Tapus) Maka Kutai Topos tidak lagi menginduk kepada Kecamatan Rimbo Pengadang sebagaimana biasanya.

Demikianlah Profil singkat Kutai Topos (Tapus) Semoga kutai ini terus berkembang dan menuju arah yang lebih maju,serta berpegang teguh pada Agama serta adat istiadat yang tetap berdiri kokoh di Kutai ini. Oleh : H Anton

Daerah Kediaman Suku Bangsa Rejang

Senin


Oleh Naim Emel Prahana

Suku bangsa Rejang sebagian besar berdiam di wilayah Bengkulu dan sebagian berdiam di daerah provinsi Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan pada tahun 1961 berdasarkan cacah jiwa (sensus penduduk) menyebutkan jumlah masyarakat suku bangsa Rejang di Sumatera Selatan lebih kurang sekitar 500.000 orang.

Saat ini suku bangsa Rejang mendiami daerah Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten Kepahiang, kabupaten Lebong), Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah. Dan, di Sumatera Selatan suku bangsa Rejang tersebar di daerah Lahat dan Musi Ulu, Musi Rawas dan Pagar Alam.

Ketika diadakan sensus penduduk tahun 1961 suku bangsa Rejang berdiam di marga-marga di daerah: Suku Rejang berasal dari Lebong (dulu namanya Renah Sekalawi)
1. Marga Suku IX di daerah Lebong. Kepala marganya berkedudukan di dusun Muara Aman dengan jumlah penduduknya sebanyak 5.972 pria dan 6.826 wanita.
2. Marga suku VIII di wilayah Lebong pasirahnya berkedudukan di dusjn Talang Leak; terdiri dari 5.972 pria dan 6.252 wanita.
3. Marga Bermani Jurukalang di Lebong; pasirahnya berkedudukan di dusun Rimbo Pengadang dengan penduduk 4.110 pria dan 4.138 wanita.
4. Marga Selupu Lebong di daerah Lebong, pasirahnya berkedudukan di dusun Taba Baru dengan penduduk 564 pria dan 637 wanita.
5. Marga Bermani Ulu di Lebong, pasirahnya berkedudukan di dusun Sawah berpenduduk 4.813 pria dan 4.565 wanita.
6. Marga Selupu Rejang di wilayah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Kesambe (Sambe) dengan penduduk 13.957 pria dan 13.295 wanita.
7. Marga Merigi di wilayah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Daspata dengan penduduk 7.286 pria dan 6.951 wanita.
8. Marga Bermani Ilir di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Keban Agung dengan penduduk 9.242 pria dan 9.126 wanita.
9. Marga Sindang Beliti di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Lubuk Belimbing dengan penduduk 3.524 pria dan 3.514 wanita.
10. Marga Suku Tengah Kepungut di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Lubuk Mumpo dengan penduduk 2.360 pria dan 2.250 wanita.
Kemudian ada kelompok-kelompok orang Rejang yang tinggal di pasar-pasar Muara Aman, Curup, Kepahiang, Padang Ulak Tanding, dan di Marga Sindang kelingi.
11. Marga Selupu Baru di daerah Pesisir, pasirahnya berkedudukan di dusun Taba Penanjung dengan penduduk 1.635 pria dan 1.728 wanita
12. Marga Selupu Lama di daerah Pesisir, pasirahnya berdiam di dusun Karang Tinggi dengan jumlah penduduk 1.766 pria dan 1.791 wanita.
13. Marga Merigi Kelindang di daerah Pesisir, pasirahnya di dusun Jambu dengan penduduk 933 pria dan 993 wanita
14. Marga Jurukalang di daerah Pesisir, pasirahnya berada di dusun Pagar Jati berpenduduk 1.634 pria dan 1.964 wanita.
15. Marga Bang Haji di daerah Pesisir, pasirahnya berdiam di dusun Sekayun, penduduknya 882 pria dan 854 wanita.
16. Marga Semitul di daerah Pesisir, pasirah berkedudukan di dusun Pondok Kelapo dengan penduduk 2.031 pria dan 2.027 wanita.
17. Marga Bermani Sungai Hitam di daerah Pesisir, pasirahnya berkedudukan di dusun Pasar Pedati dengan penduduk 1.412 pria dan 1.370 wanita.
18. Marga Bermani Perbo di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di dusun Aur Gading dengan penduduk 782 pria dan 755 wanita.
19. Marga Bermani Palik di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di susun Aur Gading berpenduduk 3.741 pria dan 3.646 wanita.
20. Marga Kerkap di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di dusun Kerkap berpenduduk 1.957 pria dan 2.055 wanita.
21. Marga Air Besi di daerah Lais, pasirahnya berdiam di dusun Pagar Banyu, penduduk 2.048 pria dan 2.164 wanita.
22. Marga Lais di Lais, pasirahnya berdiam di dusun Rajo penduduk 5.132 pria dan 5.006 wanita.
23. Marga Air Padang di Lais, pasirahnya berdiam di dusun Padang Kala, penduduk 1,050 pria dan 973 wanita.
24. Marga Bintuhan di daerah Lais, pasirahnya di dusun Pagar Ruyung, penduduk 1.109 pria dan 1.120 wanita.
25. Marga Sebelat di Lais, pasirahnya di dusun Sebelat, penduduk 723 pria dan 835 wanita. Perkembangan orang-orang Rejang di daerah Sebelat itu kemudian menyebar di pasar-pasar Lais, Ketahun dan di Marga Proatin XII.
Semua masyarakat di atas, yaitu sebanyak 18 termasuk dalam hokum ada di daerah Kabupaten Bengkulu Utara.

Keterangan Tambahan.
Dalam perkembangannya suku Rejang yang berasal dari Lebong itu merantau ke berbagai daerah, yang menggunakan transportasi sungai, seperti Air Ketahun, Air Kelingi, Sungai Musi, Air Lakitan, dan Air Rupit. Melalui jalur sungai (air) itulah kemudian suku Rejang memasuki wilayah Sumatera Selatan yang tersebar dan berdiam di wilayah kabupaten Musi Ulu Rawas dan Lahat. Sekarang kabupaten-kabupaten tersebut sudah dimekarkan.

Wilayah Kediaman Suku Rejang di Musi Ulu Rawas
26. Marga Muara Rupit, pasirahnya berdiam di dusun Muara Rupit dengan penduduk 3.185 pria dan 3.196 wanita.
27. Marga Rupit Ilir kedudukan pasirahnya di dusun Batu Gajah dengan penduduk 2.673 pria dan 2.692 wanita.
28. Marga Rupit Tengah kedudukan pasirahnya di dusun Ambacang dengan penduduk 2.204 pria dan 1.974 wanita.
29. Marga Rupit Dalam kedudukan pasirahnya di dusun Sukarmenang penduduk 2.245 pria dan 2.111 wanita.
30. Marga Proatin V kedudukan pasirahnya di dusun Taba Pingin penduduk 8.174 pria dan 7.625 wanita.
31. Marga Tlang Pumpung Kepungut kedudukan pasirahnya di dusun Muara Kati penduduk 4.757 pria dan 4.514 wanita.
32. Marga Sindang Kelingi Ilir kedudukan pasirahnya di dusun Nangka penduduk 8.557 pria dan 7.970 wanita.
33. Marga Batu Kuning Lakitan kedudukan pasirahnya di dusun Selangit penduduk 3.137 pria dan 3.076 wanita.
34. Marga Suku Tengah Lakitan Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Terawas penduduk 3.596 pria dan 3.379 wanita.

Wilayah Suku Rejang di Kabupaten Lahat
35. Marga Sikap Dalam Musi Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Berugen penduduk 3.081 pria dan 3.230 wanita.
36. Marga Tedajin kedudukan pasirahnya di dusun Karang Dapo penduduk 4.463 pria dan 4.601 wanita.
37. Marga Kejatan Mandi Musi Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Tanjung Raya penduduk 2.930 pria dan 3.137 wanita.
38. Marga Lintang Kiri Suku Sadan kedudukan pasirahnya di dusun Tanjung Raman penduduk 3.305 pria dan 3.333 wanita.
39. Marga Semidang kedudukan pasirahnya di dusun Seleman penduduk 3.838 pria dan 4.060 wanita.
40. Marga Kejatan Mandi Lintang kedudukan pasirahnya di dusun Gunung Meraksa penduduk 5.340 pria dan 5.604 wanita.
41. Marga Lintang Kanan Suku Muara Pinang kedudukan pasirahnya di dusun Muara Pinang penduduk 3.838 pria dan 3.947 wanita.
42. Marga Lintang Kanan Suku Muara Danau kedudukan pasirahnya di dusun Muara Danau penduduk 4.947 pria dan 5.071 wanita.
43. Marga Lintang Kanan Suku Babatan kedudukan pasirahnya di dusun Babatan penduduk 1.380 pria dan 2.927 wanita.

Berdasarkan masyarakat hokum adapt Rejang yang ada di daerah Lahat tersebut merupakan masyarakat hukum ada yang berdasarkan geneologis.Namun demikian masyarakat hukum ada, juga didasarkan semata-mata karena territorial (wilayah).

Marga
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)

Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.

Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.

Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.

Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.

Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.

Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.

Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya. (bersambung)
Continue Reading | komentar

Rekomendasi Workshop Politik Masyarakat Adat Lebong


Sumber : Akar Foundation

PENDAHULUAN

Penguatan pengetahuan local atau pemberian tempat pada pengetahuan local mensyaratkan redefinisi dari pembangunan. Pembangunan yang dimaksud memberi tempat pada pengetahuan lokal sebagai landasan utama yang mensyaratkan ciri-ciri endogen dari pembangunan tersebut. Ciri-ciri dari endogen dari pembanguan yang dimaksud adalah: (1), Unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranata-pranatanya; (2), Kemandirian yakni bahwa komunitas bergantung terutama pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri; (3), Keadilan Sosial; (4), Keseimbangan ekologis yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.


Definisi pembangunan tersebut mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right dan pada giliranya penekanan terhadap pemerintah daerah akan tugas dan kewajibannya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial ekonomi yang mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumber daya alam dan ini hanya dimungkinkan jika desentralisasi dan otonomi berjalan sebagai mana dengan tujuan utamanya.


Otonomi dan desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, untuk memberi peluang lebih besar kepada rakyat untuk berperan di dalam proses penyelengaraan negara, dan untuk memberi peluang kepada rakyat untuk ’mengambil kembali’ sebagian fungsi politik, social, dan ekonomi, termasuk fungsi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya tidak perlu dijalankan oleh negara.


Otonomi dan desentralisasi ini merupakan peluang besar bagi terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah dan memiliki wawasan yang jelas terhadap perlindungan alam. Namun di perlukan suatu perombakan yang mendasar dalam rezim property right atas sumber daya alam, yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat, karena sumber daya alam itulah yang menjadi sandaran utama dan menjadi sumber kekuatan bagi penghidupan yang berkelanjutan dari rakyat di daerah.


Penerapan otonomi daerah sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah harus diarahkan kepada upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan itu, nilai-nilai dalam otonomi daerah yang harus dikembangkan adalah: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintahan, nilai-nilai dalam otonomi tersebut merupakan unsur-unsur dari demokratisasi penyelenggaraan negara.


Dengan demikian, konsep demokrasi, otonomi daerah, dan partisipasi masyarakat merupakan tiga hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pembukaan ruang bagi partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara adalah inti dasar dari negara demokrasi. Demikian juga otonomi daerah, hendaknya juga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan demikian konsolidasi demokrasi hendaknya dibarengi dengan proses menuju penyelenggaraan negara berdasarkan partisipasi masyarakat melalui upaya-upaya perwujudan otonomi daerah.


Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia era “hukum yang berorientasi pada birokrat” yang selama ini mendominasi sistem hukum di Indonesia sudah saatnya diganti dengan hukum yang lebih demokratis, yang melayani dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak, dan penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Proses perancangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia baik secara normatif maupun dalam praktik masih cendrung besifat elitis, tertutup dan hanya memberi peluang yang sangat minimal bagi partisipasi masyarakat luas dalam proses tersebut. Para stakeholders seringkali justru ditinggalkan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, padahal stakeholderes merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap lahirnya suatu peraturan perundang-undangan.


Dalam memaknai otonomi seringkali kita terjebak pada pemahaman bahwa otonomi sebagai tujuan. Padahal apabila kita simak, tujuan penyelenggaraan negara adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut dibuatlah berbagai instrument yang salah satunya adalah otonomi daerah. Dengan demikian otonomi daerah marupakan salah satu instrument dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, keberhasilan penerapan otonomi daerah perlu dukungan berupa perilaku penyelenggara pemerintah (pejabat) yang bersih dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) diperlukan dukungan seperangkat peraturan yang bisa mengarahkan penyelenggara pemerintah melakukan perubahan.


Untuk mengubah pola perilaku penyelenggara pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat ke perilaku baru yang berpihak kepada rakyat dalam suatu komunitas yang demokratis, maka penyusunan instrumen hukum misalnya Peraturan Daerah (PERDA) haruslah dilakukan secara partisipatif dan demokratis. Partisipatif berarti bahwa dalam penyusunannya haruslah melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat dan diulakukan secara terbuka. masyarakat sebagai pihak yang akan terkena dampak pemberlakukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam aturan yang dimaksud haruslah diberi ruang untuk bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam merancang suatu aturan, hendaknya diperhatikan kondisi-kondisi spesifik yang riil ada di masyarakat baik karakter, sumber daya alam, dan sosial budaya. Sehingga aplikas pembangunan berkelanjutan itu harus diimbangi dengan pengetahuan yang otochton atau indigenous dari masyarakat setempat, dan epistemology local ini yang semakin melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin sustainability penghidupan masyarakatnya, maka perlu dicarikan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan dan partisipasi politik. [1]


Definisi pembangunan tersebut mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right dan pada giliranya penekanan terhadap pemerintah daerah akan tugas dan kewajibannya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial ekonomi yang mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumber da
Continue Reading | komentar

Soekarno - Fidel Castro


Oleh : Dr Haridadi Sudjono (Mantan Dubes RI untuk Kuba)

Menyebut Kuba tak urung harus menyapa Fidel Castro, tokoh legendaris, seorang pemimpin yang terlama berkuasa di dunia.

Dia baru saja menyatakan “lengser” dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan satu-satunya negara berpaham sosialis-komunis yang ada di belahan Barat itu kepada Raul Castro,adiknya. Menyebut Castro mengingatkan kita pada Bung Karno,yang juga tokoh legendaris Indonesia.Apa kaitannya?

Castro mengatakan dengan tegas, dirinya adalah murid Bung Karno. Itu dikemukakannya sendiri kepada Bung Karno,ketika dua tokoh Gerakan Nonblok ini bertemu, dan kepada Adam Malik ketika almarhum menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI. Secara terbuka Castro menegaskan bahwa dirinya telah mengadopsi ajaran-ajaran Presiden RI pertama itu untuk dijadikan acuan guna memimpin negaranya. Ajaran yang mana?

Tentu, bukan Pancasila, nasakom, atau marhaenisme, melainkan trisakti dan resopim. Castro yang dikenal sebagai tukang ekspor revolusi ini ternyata juga telah mengimpor teori revolusi ajaran Bung Karno. Selama penulis menduduki pos sebagai Dubes RI (1999–2003) di negeri yang luasnya tak lebih dari Pulau Jawa ini, tampak bahwa pemerintahan di bawah Fidel Castro konsisten mempraktikkan dua ajaran tersebut yang tentu saja sudah diolah menjadi trisakti dan resopim ala Kuba.

Sebagaimana kita ketahui,ajaran trisakti Bung Karno ini mencakup, pertama, berdaulat dalam politik; kedua,berdiri di atas kaki sendiri (berdikari atau mandiri) di bidang ekonomi; ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Adapun resopim yang merupakan judul pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1961 adalah merupakan akronim dari “revolusi, sosialisme Indonesia, dan pimpinan nasional”.

Tentu saja dalam versi Kuba sosialisme Indonesia juga diolah menjadi sosialisme Kuba yang secara filosofis berbeda dengan Indonesia. Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila, sedangkan sosialisme Kuba berdasarkan teori Marxis. Namun, secara substansial keduanya mengusung cita-cita sama, yakni sosialisme yang antikapitalisme. Kuba tak mau didikte dan dijajah oleh Barat di bidang ekonomi,politik, dan budaya. Kuba menolak campur tangan IMF.

Bahkan Fidel Castro menyerukan agar IMF sebagai lembaga pendanaan kapitalis yang sifatnya menindas negara-negara sedang berkembang dibubarkan saja. Sikap kemandirian itu berbeda dengan Indonesia yang selama Orde Baru justru pembangunan ekonominya dibayang-bayangi IMF sehingga terpuruk dalam krisis moneter (krismon) yang berkepanjangan dan menimbulkan beban utang yang terus membengkak hingga hari ini.

Kuba membangun negara dan rakyatnya dengan mengandalkan kekuatan ekonominya sendiri. Bukan mengandalkan utang luar negeri. Inilah prinsip berdikari di bidang ekonomi yang diajarkan Bung Karno, tetapi dipraktikkan secara konsisten oleh Castro. Dengan berdikari dibidang ekonomi, Kuba dapat mempertahankan kedaulatan politiknya dan juga kebudayaan nasionalnya.

Dengan program pembangunan yang berbasis ajaran Bung Karno itu, Kuba kini merupakan negara kecil yang berpotensi besar. Di bidang kesehatan, Kuba mendapat pengakuan dari WHO sebagai salah satu negara dengan tingkat pemeliharaan kesehatan terbaik di dunia.Tingkat kematian bayi hanya 6,2 per 1.000 kelahiran dan usia harapan hidup mencapai rata-rata 76 tahun.

Kesehatan dan Pendidikan

Rakyat seluruh negeri mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma dan telah mendapat pengakuan UNESCO. Pada 2000, Kuba merupakan negara dengan fasilitas pendidikan terbaik di kawasan Amerika Latin. Setiap diselenggarakan Olimpiade Matematika Dunia, Kuba selalu memborong medali emas. Keunggulan Kuba terlihat saat pada 1961 mereka sudah menampung 40.000 pelajar dari 120 negara untuk mengikuti pendidikan di negeri kecil ini, khususnya di bidang kedokteran.

Kemudian, sampai akhir 2001, Kuba telah memiliki 67.000 orang dokter dan di antara mereka bekerja sebagai tenaga ahli di 58 negara kawasan Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Di samping penghasil dokter, Kuba juga penghasil obat-obatan yang sudah diakui PBB. Kuba merupakan produsen vaksin Hepatitis B terbesar di dunia. Jumlah ilmuwan Kuba menduduki persentase tertinggi kelima di dunia sesudah Jepang, Israel, Amerika Serikat, serta Kanada dan Australia.

Karena itu, negeri kecil ini memiliki keunggulan SDM yang berkualitas tinggi. Lebih dari 95% penduduk Kuba sudah bisa mengenyam pendidikan dasar hingga menengah.Alokasi anggaran belanja pendidikan di Kuba menduduki peringkat kedua terbesar sesudah belanja untuk tunjangan sosial.

Meraup Devisa

Hasilnya,Kuba telah mengekspor ribuan tenaga terdidik ke seluruh dunia setiap tahunnya, mencakup dokter, insinyur pertanian, pelatih olahraga, dan lain-lain yang menghasilkan devisa amat besar bagi negara.Hal itu terjadi karena mereka yang bekerja di negeri asing dipotong gajinya hingga 50% yang harus disetorkan kepada pemerintah.

Bandingkan dengan tenaga kerja Indonesia yang kebanyakan hanya tenaga kasar dengan gaji murah dan mereka masih diperas oleh yayasan pengirim tenaga kerja. Meskipun menganut sistem sosialis-komunis,Kuba terbuka bagi modal asing.Dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 77 Tahun 1995,banyak negara dan perusahaan skala internasional menanamkan modalnya di Kuba secara bebas,kecuali di bidang pendidikan, kesehatan, dan pertahanan yang terlarang bagi investasi asing.

Kebijakan ini berbeda dengan UU PMA Indonesia yang dikeluarkan di awal pemerintahan Orde Baru. UU tersebut tanpa barikade sehingga ekonomi nasional malah didominasi kekuatan asing.Kuba juga menjamin kebebasan beragama, berkumpul, dan berserikat yang tertuang dalam hasil Sidang Majelis Nasional Kuba pada 10 Juli 1992. Kuba bukan negara kaya, tetapi juga bukan negara miskin.

Pemerintah Kuba menerapkan ajaran Bung Karno dengan pola hidup sederhana, membangun dengan kekuatan ekonomi sendiri, dan selalu menerapkan prinsip “ukur baju badan sendiri”. Bagi Indonesia, kita perlu mengambil pelajaran dari sisi positif praktik sistem pemerintahan Castro yang mengaku “berguru” kepada Bung Karno itu tanpa harus menjadi Kuba karena sistem politik Indonesia memang jauh berbeda dengan yang dianut negeri di kawasan Karibia itu.

Sumber : Seputar Indonesia.com
Continue Reading | komentar

Sejarah Lagu Lalan Belek

Sabtu


Sumber: Curupkami

Lalan belek adalah lagu tradisional suku rejang yang berarti Lalan Pulang (Balik)lagu ini masing masing daerah di tanah rejang memiliki bermacam-macam syair namun iramanya tetap sama. Ternyata ada kisah dibalik lagu lalan belek.
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kemak boloak si depeak, depeak nang au Kemak dawen si lipet duwei, lipet duwei Kunyeu depeloak etun, temegeak nang au Belek asen ite beduei, ite beduei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ku namen repie epet nang au Coa ku melapen eboak kedulo, eboak kedulo Amen ku namen idup yo peset nang au Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ade seludang pinang nang au Jano guno ku upeak igei, ku upeak igei Amen ade bayang betunang nang au Jano guno bemadeak igei, bemadeak igei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Bilei iyo temanem tebeu nang au Memen sebilei temanem seie, temanem seie Bilei iyo ite betemeu nang au Memn sebilei ite becei, ite becei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek,
itu adalah Syair dari lalan belek yang jika diartikan :
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Ambil bambu sebelah-sebelah Ambil daun dilipat dua, lipat dua Biar sepuluh orang melarang Kembali rasa kita berdua Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau kutahu buah Pare pahit Tidak kumasak buah kedula Kalau kutahu hidup ini sengsara Tidak kumau turun ke dunia Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau ada pelepah pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada bayangan hendak bertunangan Apa guna berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu Besok lusa menanam serai Hari ini kita bertemu Besok lusa kita bercerai Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
adapun kisah dibalik lagu lalan belek diantaranya :
Cerito rakyat yo bik ndaleak may kutei Jang kuleu kiseak cerito yo tentang indok dik ade anak smulen baes genne lalan anakne cak mratau oak, lak mesoa jerkei dik lebeak baik, an anak yo coa belek-belek, belek debat lak dem nong indok ne dik bik tuei, indok ne indew lut magea anak ne suang, indokne coa dik spasoak igei. Seleyen anak ne o. Sapie ketiko lalan sakit paeak di akhirne matie, nak sadienen. Indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit. Tiep bilei indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit. Tiep bilei indok ne blemet lalan nak adep pondok sambea liseak sakit kerno indew ngen anak. Indokne trus belemet sambea sakit si mnyanyi lagu dik Minai lalan Belek. Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kemak boloak si depeak, depeak nang au Kemak dawen si lipet duwei, lipet duwei Kunyeu depeloak etun, temegeak nang au Belek asen ite beduei, ite beduei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ku namen repie epet nang au Coa ku melapen eboak kedulo, eboak kedulo Amen ku namen idup yo peset nang au Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ade seludang pinang nang au Jano guno ku upeak igei, ku upeak igei Amen ade bayang betunang nang au Jano guno bemadeak igei, bemadeak igei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Bilei iyo temanem tebeu nang au Memen sebilei temanem seie, temanem seie Bilei iyo ite betemeu nang au Memn sebilei ite becei, ite becei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kunai lenyet, lalan tem ngoa lagu indokne, coa sapie atie kemleak indokne indew si. Si lajeu tu un mai dunio. Keten kunai das lenget, lalan tuun kunai lenget ngen dewi-dewi di alep-alep. Indok ne yo ano te kejir kemleak lalan anak ne jijei dewi, hinggo si bepeker lalan bik matie sudoo jijei dewi.
Cerita rakyat ini telah mendarah daging pada keturunan masyarakat suku Rejang Bengkulu. Cerita ini berkisah tentang seorang ibu yang memiliki anak gadis yang sangat cantik bernama Lalan. Sang anak menginginkan dirinya merantau ke suatu tempat yang jauh, hendak mendapatkan nasib yang lebih baik. Lama sekali sang anak tidak pulang-pulang untuk sekedar menjenguk ibunya yang sudah tua. Ibunya merasa sangat merindukan anak satu-satunya itu. Sang ibu tidak memiliki sanak lagi selain anaknya si Lalan itu. Di suatu tempat, nampak si Lalan belum sampai mendapatkan nasib baik. Dia menjadi seorang pelayan di sebuah ladang milik saudagar cina. Baru bekerja beberapa hari, si Lalan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Saudagar cina tersebut sering membuat Lalan mendapatkan luka-luka di badan karena perlakuan kasarnya. Sampai pada suatu saat Lalan menderita sakit dan akhirnya dia mati. Di kejauhan, tepatnya di kampung halamannya, sang ibu masih menantikan kedatangan anak gadis satu-satunya itu. Betapa kerinduan sang ibu sampai dia merintih kesakitan. Tiap hari sang ibu menantikan kedatangan Lalan di depan gubuknya, tapi Lalan tak kunjung datang menjenguk juga. Suatu pagi yang tiada cerah-cerahnya bagi sang ibu, seperti biasanya dia tetap menanti Lalan di depan gubuknya sambil merintih menahan sakit karena kerinduan kepada anaknya. Sang ibu terus saja menunggu dan dia merintih menyanyikan suatu lagu yang menginginkan Lalan pulang. Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Ambil bambu sebelah-sebelah Ambil daun dilipat dua, lipat dua Biar sepuluh orang melarang Kembali rasa kita berdua Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau kutahu buah Pare pahit Tidak kumasak buah kedula Kalau kutahu hidup ini sengsara Tidak kumau turun ke dunia Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau ada pelepah pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada bayangan hendak bertunangan Apa guna berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu Besok lusa menanam serai Hari ini kita bertemu Besok lusa kita bercerai Dari kahyangan, Lalan mendengar rintihan lagu ibunya. Tidak sampai hati melihat sang ibu terundung kerinduan pada dirinya, dia segera turun ke bumi. Tampak dari atas langit, si Lalan turun dari kahyangan bersama dewi-dewi yang cantik-cantik. Sang ibu sangat kaget karena melihat Lalan anaknya menjadi seorang dewi, sehingga dia berpikir bahwa Lalan telah mati dan menjadi seorang dewi.
Dengan melihat si Lalan, kerinduan sang ibu telah terobati. Sang ibu tersungkur di depan gubuknya. Kemudian dia mati dengan tersenyum tapi meneteskan air matanya. Konon, air mata sang ibu terus saja mengalir di depan gubuknya sampai menggenang dan menjadi sungai. Yang sekarang menjadi sungai Putih. Sampai sekarang oleh masyarakat suku Rejang, sungai Putih dianggap keramat. Masyarakat suku Rejang percaya bahwa Lalan yang telah menjadi dewi tersebut masih sering turun ke sungai Putih untuk mandi di air mata ibunya itu.
Deu versi di muncul kunai tiep lageu kutei jang. Karno coa dik sine tek tertulis tentang lageu daerah kutei jang dik tercipto kunai cerito rakyat kutei jang dewek…banyak versi yang muncul dari setiap lagu suku rejang, karena tidak adanya teks tertulis tentang lagu daerah suku Rejang yang tercipta dari cerita rakyat suku Rejang sendiri
warga suku Rejang mengungkapkan bahwa dalam sejarah suku Rejang, konon ada dewi atau biasa disebut seorang bidadari bernama Lalan yang selalu mandi di sungai Putih. Sehingga terkait dengan lagu dan jalan cerita yang melatar belakangi terciptanya lagu Lalan belek. Legenda sungai Putih dikaitkan dengan latar belakang lagu Lalan Belek, karena sungai Putih yang berlokasi di dusun Curup airnya putih dan bening, sebening air mata sang ibu Lalan
Kepercayoan tun kutei jang bahwa memain ade dikup bidadari genne lalan di galak keten mai mendei nak bioa puteak kerno si indew ngen indokne …kepercayaan warga suku Rejang bahwa memang ada seorang bidadari bernama Lalan yang sering datang untuk mandi di sungai Putih karena dia merindukan ibunya…
Isi dalam lagu Lalan Belek memiliki banyak ungkapan-ungkapan yang sarat makna. Dan oleh para leluhur atau orang tua suku rejang dipakai sebagai petuah atau nasehat kepada anak cucunya.
Legenda mengenai bioa puteak jijei saleak do latarblakang adene lageu lalan belek. Kepecayoan tun kutei jang tentang legenda bioa puteak di cenrito kunai latarbelakang terciptane lageu menea tun manggep legenda o benea-benea te jijei
legenda mengenai sungai Putih menjadi salah satu latar belakang terciptanya lagu Lalan Belek atau Lalan Pulang. Kepercayaan masyarakat Rejang tentang legenda sungai Putih yang diceritakan dari latar belakang terciptanya lagu tersebut membuat masyarakat menganggap legenda tersebut benar-benar terjadi. Versi Lainnya :
Meno o adé cerito tun tuei. Cerito ne awié yo. Adé nak debueak sadié diem tun bujang. Gén ne Bujang Kurung. Adé do bilei si aleu mai ngéwéa nak bioa, coa si oak kunai sadié ne. Si aleu mai ngéwéa, nemin ne belas ngen silei. Si aleu menék matei bilei. Si beguték panuo. Coa an sapié si nak penan ne lak ngéwéa. Si mulai ngéwéa. Coa dé kan lak emuk kéwéa ne. Bilei bi lekat. Uléak coa dé si ne. Udo o adé nyut ne lak bélék. Wakteu si lak bélék tenngoa ne tun giag. Si tak mimang ne. Si cengang kemléak adé tun alep-alep nien. Tobo o semulen mulen. Adé dikup di alep su'ang ne. Si di piset su'ang ne. Beguték Bujang Kurung ma'ak ne, coa tobo o namen. Bujang Kurung tak mak bajeu di piset su'ang o. Wakteu tobo o sudo menei, makié areak alat ne, kes ne areak alat di piset o bi laput. Pasoak ne sudo makié areak alat ne lak bélék mai léngét. Tapi di piset nano coa nam tebang igei. Bajeu ne bi laput. Nginoi si ke'an jano ne. Pasoak ne nginoi kulo kemléak asoak ne coa nam bélék igei. Jisanak ne aleu kete. Tinga di piset o su'ang. Kenléak Bujang Kurung o awié o. Tekjir si. Coa si sako do'o anak diwo. Si maik bajeu di nemak ne nano. Si tak emin melilei. Udo o Bujang Kurung magea igei di piset nano. Si temnei bene si coa bélék mai léngét. Nadeak di piset o, bajeu ne laput. Udo o Bujang Kurung majak mai sadié ne. Lak di piset o. Tennei Bujang Kurung gén ne. Gén ne Lalan. Bi sapié nak sadié Bujang Kurung, nemin Bujang Kurung mai umeak ne. Diem ba Lalan nak di an bi ke'an. Bujang Kurung tujeu ngen Lalan. Lalan lak kulo cito kulo ngen Bujang Kurung. Coa an udo o napag tun sadié o tun beduei o. Abis cerito ku.
Dahulu ada cerita-cerita dari orang tua,ceritanya seperti ini, ada di suatu desa tinggallah seorang lelaki,namanya Bujang Kurung, suatu hari dia pergi memancing disungai yang tidak begitu jauh dari desanya, hanya berbekal nasi dan garam ia pergi mancing,sesampai di sungai tersebut dia mulai memancing tapi pada hari itu tidak satu pun ikan yang berhasil ia pancing,sehingga ia memutuskan untuk pulang,diperjalanan pulang tiba-tiba dia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap,tiba-tiba saja muncul niatnya ingin tahu dari mana suara itu berasal.diikutinyalah suara itu sampai akhirnya dia terkejut karena suara-suara itu berasal dari para gadis-gadis yang sangat cantik yang tengah mandi disungai,ada satu gadis yang menarik perhatian bujang kurung karena gadis tersebut paling cantik diantara gadis-gadis lainnya.tanpa disadari oleh para gadis-gadis tersebut si bujang kurung mencuri salah satu pakaian dari mereka,sehingga sewaktu mereka selesai mandi salah satu dari mereka terkejut karena pakaiannya hilang,sibungsu mengangis sejadi-jadinya,melihat hal tersebut saudara sibungsu ikutan menangis,akhirnya saudara-saudara sibungsu itu pulang dan tinggallah sibungsu sendirian,sibujang kurung terkejut karena dia tidak menyangka kalau gadis-gadis yang mandi tersebut adalah para dewi-dewi.setelah sibungsu tinggal sendirian menangisi nasibnya yang tidak bisa pulang lagi kelangit, sibujang kurung tiba-tiba mendekati sibungsu tersebut dan bertanya kenapa kamu tidak pulang bersama saudara-saudaramu kelangit,sibungsu menjawab karena bajuku hilang,lalu sibujang kurung menanyakan nama gadis itu,gadis itu menjawab kalau namanya adalah lalan setelah itu bujang kurung mengajak sibungsu tersebut pulang ke desanya dan mereka akhirnya menikah.
Continue Reading | komentar

ALUR PROSES PERADILAN ADAT CLAN SELUPU LEBONG


Author Erwin S. Basrin

Pada tataran konseptual di tingkat kampung peradilan adat ini mengenal struktur yang telah dibakukan yang lebih menonjolkan asaz musyawarah dalam mencari penyelesain sengketa.

· Rajo atau Pelindung Adat sebelum Indonesia Merdeka di kenal dengan Depati kemudian Ginde namun setelah terbitnya UU No 5 Tahun 1979 dinamakan dengan Kepala Desa, namun dalam pelaksanaan peradilan adat Rajo atau Pelindung Adat punya hak suara untuk memberikan beberapa nasehat jika dimintak oleh Ketua Kutai yang juga tidak punya hak dalam memutuskan penyelesaian sengketa.
· Ketua Kutai ini dipilih oleh Ketua-ketua Suku atau Sukau yang berasal dari salah satu Sukau yang ada di Kutai tersebut dan jumlah Ketua kutai di masing-masing Kutai (kampung) hanya 1 orang. Dalam penyelesain atau peradilan adat Ketua Kutai ini punya hak untuk mengelar peradilan adat dan memutuskan perkara kasus secara adat dengan dasar hasil musyawarah ke empat Ketua Sukau dengan memperhatikan pertimbangan dari Rajo atau Pelindung Adat, Cerdik Pandai, Alim Ulama serta tetua yang ada di Kutai tersebut.
· Ketua Sukau/Clan adalah wakil masing-masing keluarga dalam sturuktur adat yang dipilih oleh masing-masing clan/keluarga berdasarkan beberapa kreteria seperti berilmu, bijaksana dll. Dalam system peradilan adat Ketua Sukau ini sebagai juru runding Sukau dan pembawa kasus persoalan yang dihadapi oleh anak suku atau sukau yang bersangkutan kepada ketua Kutai, sebagai pembela sekaligus memberikan beberapa pertimbangan dalam persidangan adat.

Dalam proses persidangan adat referensi yang dipakai dalam menetapkan sangsi adat adalah pokok adat Rejang yang ditinggalkan (diwariskan - admin) oleh para leluhur secara lisan antara lain:

· ‘Bejenjang kenek betanggo tu’un’ adalah dasar untuk menetapkan besaran sangsi material dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan kemampuan terdakwa

· ‘Sumbing titip, kinyem mengelek’ adalah dasar dalam proses peradilan adat bisa untuk menciptakan keseimbangan kembali di tengah-tengah masyarakat

· ‘Semitok buk lem gelpung’ adalah kearifan adat dalam proses penyelesaian sengketa sehingga korban dan pelaku tidak merasa ada yang dirugikan

· ‘Tepung tabea’ bermaksud untuk mendinginkan permasalahan sehingga meredakan konflik atau usaha untuk menciptakan keseimbangan di tingkat kampung sekaligus wujud penyesalan si pelaku terhadap pihak korban. Dan lain-lain

· ‘Membunuh membangun’ artinya kalau membunuh orang hukumannya si pembunuh membayar bangun kepada famili si mati dengan emas atau perak.

· ‘Salah berutang’ artinya setiap kesalahan terpikul oleh yang bersalah sendiri

· ‘Gawal mati’ tiap seorang melakukan kejahatan yang maha besar atau yang dilarang keras oleh adat, dihukum mati (bunuh)

· ‘Melukai menepung’ artinya memberi uang atau emas kepada yang dilukai

· ‘Selang Berpulang’ artinya tiap barang di pinjam dikembalikan

· ‘Suarang baragiak’ artinya harta yang diperoleh bersama-sama dibagi sama banyak

· ‘Buruk puar aling jelupung’ patah tumbuh hilang berganti’ artinya tiap-tiap yang hilang dicari gantinya, mati suami saudara suami akan jadi gantinya. Mati istri saudara istrinya yang akan jadi gantinya (mengganti Tikar)

· ‘Kalah adat karena janji’ segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh adat baik peraturan maka batallah bila diantara kedua belah pihak telah berjanji.

· ‘Sumbing bertitip patah berkimpal’ umpama meminjam suata harta atau benda jika barang itu rusak maka kerusakan diperbaiki atas perdamaian.

· ‘Pemberian habis saja’ artinya suka sama suka. Lain-lain dari itu adat bujang gadis, aturan pusaka, cupak gating.


Setelah proses pelaksanaan peradilan adat maka akan ada Sekapur Sirih yang merupakan wujud dari Ireak Ngen Ca’o atau tata cara adat. Pada masa penjajahan Belanda selain referensi diatas dalam menetapkan sangsi adat, masyarakat adat Rejang mempedomani tata aturan adat yang tersusun dalam buku Undang-Undang Simbur Cayo sehingga sangsi-sangsi adat kebanyakan berwujud sangsi material pada hal dalam tata aturan atau pokok adat Rejang sangsi yang diberikan adalah sangsi social dan moral seperti dikucilkan, diusirkan dan lain-lain. Dengan kitab Undang-Undang Simbur Cayo masyarakat adat Rejang mengenal sangsi material tersebut dengan satuan uang Riyea. Dalam pelaksanaan peradilan adat tahapan-tahapan yang dilalui adalah :

Tata cara pelaksanaan peradilan adapt sebelum tahun 1979

Tahap I. Proses Awal

1. Pihak korban melaporkan kasus atau kejadian kepada Ketua Sukau dimana korban berada.
2. Kemudian ketua Sukau pihak korban melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua Sukau pihak pelaku.
3. Ketua Sukau pelaku memanggil pelaku untuk meminta keterangan terhadap laporan dari Ketua Sukau korban.
4. Setelah mendengar pengakuan dari pelaku Ketua Sukau pelaku mendatangi Ketua Sukau korban untuk membahas permasalahan yang sedang dihadapi oleh Anak Sukau mereka.
5. Dari hasil musyawarah antara Ketua Sukau pelaku dan korban kemudian dibawah ke Ketua Kutai (Hakim Desa).
6. Setelah menerima laporan dari Ketua Sukau korban dan Ketua Sukau pelaku Ketua Kutai memanggil seluruh Ketua Sukau untuk melaksanakan proses Pereradilan Adat.

Tahap II. Proses Penyelesaian Sengketa

1. Ketua Kutai memintak penjelasan dari Ketua Sukau pihak korban dan Ketua Sukau pelaku.
2. Kemudian Ketua Kutai memintak keterangan dari korban dan pelaku untuk mengsinkronisasikan keterangan yang disampaikan Ketua Sukau pelaku dan Ketua Sukau korban dengan keterangan pelaku dan korban.
3. Ketua Kutai menanyakan kepada korban dan pelaku (Pihak yang Bersengketa) apakah merekah bersedia permasalahan yang mereka hadapi diselesaikan secara Adat (Hukum Adat). (Apabilah kedua pihak sepakat untuk diselesaikan secara adat maka Ketua Kutai melanjutkan proses peradilan adat)
4. Dalam persidangan Ketua Kutai menanyakan persoalan sesungguhnya dengan para pihak yang bertikai.

Tahap III. Proses Penentuan Keputusan

1. Sebelum menetapkan keputusan Ketua Kutai selalu mengunakan pokok-pokok adat diatas selain mengunakan falsapah ’Ayam Hitam Terbang Malam Hinggap Di Kayu Rindang Pohon’ atau azas praduga tidak bersalah selanjutnya juga meminta pertimbangan dan nasehat dari Rajo atau Pelindung Adat serta cerdik pandai, alim ulama dan orang-orang di anggap pintar di Kutai tersebut.
2. Dari masukan dan nasehat pelindung adat kemudian Ketua Kutai memintak saran dan pendapat dari empat orang Ketua Sukau baik kepada Sukau yang bersengketa maupun dengan Sukau yang lain.
3. Setelah mempertimbangkan saran dan nasehat dari pelindung adat dan para Ketua Sukau maka Ketua Kutai memutuskan suatu perkara tersebut dengan mengunakan sekapur sirih sebagai lambang kesepakatan yang disaksikan oleh banyak pihak yaitu Anok Sukau dan para pihak lainnya.

Proses peradilan adat ini biasanya memakan waktu sampai 2 minggu, namun pada beberapa kasus peradilan adat ini dilakukan dengan menemukan relasi antara adat, agama sesuai dengan pepatah Adat Bersendi Syarak Dan Syarak Bersendi Kitabullah. Dalam kasus-kasus perdata dan pidana dalam pelaksanaan dan proses peradilan adat alur dan prosesnya sama. Namun ada beberapa contoh kasus di Kabupaten Lebong diselesaikan secara adat namun pada prosesnya ada beberapa tahapan yang terlewatkan karena ada oknum pelaksana (eksekutor) yang bias keadilan dan ada kepentingan politis.

Tata cara pelaksanaan peradilan adat setelah tahun 1979

a. Terdakwa diproses dikantor desa oleh kepala desa dan perangkatnya
b. Kemudian diproses perbal, berkas barang-barang bukti serta saksi di ajukan oleh desa kepada sidang penyelesaian adapt. Ketua Syara’ dan ketua Kutai untuk diselesaikan secara adapt. Terdakwa di beri hak untuk mendapat pembela yaitu oleh ketua suku
c. Bahasa halus setiap perkara diterapkan diwaktu siang (sidang terbuka untuk umum) dan sidang untuk masalah-masalah pelanggaran susila atau aib dilakukan pada malam hari dan tertutup untuk umum.
d. Penyerahan perkara untuk diselesaikan dalam forum adapt kepadamajelis tiga penembahan suku ( ketua adapt, ketua syara’ dan ketua kutai ) melalui Sirih Sesanggan dan perlengkapan ritual seperti Pujung nasi dan pujung serawo serta saksi, barang bukti. Berkas pernyataan terdakwa serta denda-denda adat lainnya.

Permasalahan yang Diselesaikan Lewat Peradilan Adat

1. Pidana

o Pemukulan terhadap orang lain
o Pembunuhan
o Pencurian

2. Perdata

o Sengketa Hak Milik (Perdata)

Syarat-Syarat pelaksanaan Peradilan Adat:

1. Terjadinya khasus adalah diwilayah hukum adat bersangkutan atau dilakukan oleh anggota masyarakat adat bersangkutan.

2. Memenuhi unsur pidana adat sesuai aturan yang berlaku.

3. Ada laporan khasus yang disampaikan ke lembaga adat.

Hambatan-hambatan dalam menegakkan keberlanjutan peradilan adat

a. Bahwa hukum adat setempat boleh berlaku bila telah disyahkan oleh pemda, berlaku untuk wilayah adapt setempat, dilaksanakan atas perintah atau tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (Negara atau pemda). Jika tidak demikian maka keputusan peradilan adapt dapat di anulir oleh keputusan peradilan Negara.

b. Sumber daya manusia ( desa ) yang tidak menguasai persoalan hukum

c. Tidak ada pembelajaran yang sinambung tentang masalah adapt dan peradilan adat.

Peluang-peluang dalam menegakkan keberlanjutan peradilan Adat

a. Motivasi masyarakat dalam rangka penyelesaian masalah demi menjamin keamanan, ketertiban dan pelestarian hubungan antar warga masih ada.

b. Masyarakat merasa bahwa penyelesaian secara adat memang di butuhkan dan bukan hanya dipentingkan sewaktu-waktu saja. Penyelesaian secara Adat dilakukan dengan berbagai macam pertimbangan sebagai berikut :

a. Penyelesaian ini bersipat sacral, bukan hanya antar manusia saja tetapi juga penguasa terdahulu dan mahluk Allah yang lainnya. ( stako adat )

b. Sisi terahir dalam penyelesaian adat, pihak-pihak yang bersalah didamaikan dan berkewajiban saling menjaga hubungan baik.

c. Untuk menghindari sumpah/sanksi orang banyak.

d. Untuk menunjukkan nilai-nilai kebenaran bagi segala pihak bukan cuman pihak yang terlibat perkara.

Kasus-kasus pembunuhan dalam penyelesaian secara adat Rejang ini di bagi dua jenis yaitu

1. Iram Tiado Berdarah Maksudnya Pembunuhan yang dilakukan menggunakan alat tumpul yang mencederai orang lain tampa mengeluarkan darah tapi mengakibatkan orang meninggal dunia.

2. Iram Berdarah maksudnya pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan senjata tajam atau sejenisnya sehingga mengeluarkan darah dan mengakibatkan orang meninggal.

Penyelesaian melalui hukum adat terhadap Iram Tiado berdarah dan Iram Berdarah yang berdampak meninggalnya seseorang menurut hukum adat yang berlaku diselesaikan dengan cara, harus membayar sangsi adat yaitu satu bangun. Sedangkan apabilah tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang maka akan didikenai sanksi adat yang disebut Setengah Bangun.
Continue Reading | komentar

Bengkulu Dan Perubahan


Erwin S Basrin

Tema perubahan menjadi sesuatu yang menarik sebagai bahasa politik dalam berkomunikasi dengan kunstiunte untuk menarik dukungan dan empati masyarakat secara umum, Proses Pemilihan Kepala Daerah hampir di seluruh Indonesia mengusung tema Perumahan walaupun sebagian besar meyederhanakan menjadi bahasa rakyat seperti, sekolah gratis, pendidikan gratis dan bahasa-bahasa politik yang memungkinkan masyarakat tertarik, bahasa-bahasa ini kemudian menjadi kontradiktif dengan implementasi akibat ketidak mampuan kandidat tertentu untuk membuat indikator dan logika-logika pikir (logical framework) sehingga rakyat bisa suatu saat untuk menagih akuntabilitas paling tidak ikut berpartisifasi dalam proses pelaksanaannya, kemudian pertanyaannya adalah seperti apa proses ini terjadi di Bengkulu.?

Isu Perubahan di Propinsi Bengkulu di Usung oleh Pasangan Agusrin Najamudin dan H Syamlan, tema perubahan ini kemudian menjadi matera ampuh untuk mengali dukungan di 9 Kabupaten/kota di Bengkulu, dan isu inipun kemudian mengantar pasangan tersebut menduduki jabatan Gubernur Bengkulu, ada komitmen menarik yang menjadi bahasa komitmen politik kemudian oleh pasangan ini menyatakan bahwa ketika 2,5 tahun priode kepemerintahannya tidak mampu untuk melakukan perubahan maka keduanya akan mengundurkan diri.

Sebenarnya perubahan konstalasi politik dengan pemilihan langsung oleh rakyat diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang signifikan paling tidak di struktur pemerintahan itu sendiri, dari bacaan penulis, di Bengkulu ada 3 prayarat yang harus dipenuhi oleh kepemimpinan pemerintahan yaitu Kompetensi, Integritas dan Legitimasi, mari satu-satu kita coba jelaskan penomena tiga hal ini di Bengkulu dalam melihat persoalan politik perubahan tersebut.

Kompetensi ini adalah soal kemampuan dalam memanagemen, menata dan menjalankan struktur pemerintahan, pertanyaannya adalah apakah kemudian pasangan yang mengadang-gadangkan perubahan ini mampu membuat sistem managemen pemerintahan atau birokrasi lebih baik, jika dilihat dalam perjalanannya wacana pembentukan Sumatera Tengah yang dimotori oleh Pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong adalah bentuk “ketiakmampuan” dalam memanagement sistem birokrasi yang ada, tidak selesainya memediasi persoalan tata batas antar kabupaten yang adalah di Bengkulu adalah akumulasi dari ketidak mampuan menjalankan sistem pemerintahan yang ada sehingga yang muncul adalah elitis dan primordialesme.

Yang kedua adalah Integritas artinya memiliki kelurusan kata dan tindakan yang memadai, jika kita lihat jauh kebelakang pasangan yang mengsung tema perubahan ini ada ketiaklurusan antara kata dan perbuatan, awalnya yang digadang-gadangkan adalah ekonomi kerakyatan kemudian berubah menjadi multy year project pariwisata nasional, ketidaktepatan untuk mundur ketika tidak mampu membuat perubahan 2,5 tahun meskipun ada banyak pihak yang telah membuat indikator kegagalan sehingga melakukan tekanan tuntutan untuk mundur.

Ke tiga adalah Legitimasi artinya memiliki suara pemili yang banyak dan harus dipertangungjwabkan selama masa jabatanya, jika kita lihat perjalan pemerintahan yang ada ini hanya memenuhi kretaria Legitimasi saja, soal Kompetansi hanya dibuktikan selama 10 menit ketika menyampaikan visi misinya di depan DPRD dan sekilas ketika masa kampanye, dan soal Integritas tidak ada pemeriksaan lebih jauh tentang kandidat apakah dia memiliki moral yang baik ? atau latar belakang yang kelam ? track recordnya seperti apa ketika dia menjalankan apa saja sebelum dipilih.

Pengalam pahit ini seyogyanya menjadi bagian pendidikan politk rakyat secara luas untuk mengenali secara utuh sekaligus membuat indikator bagi kepemimpinan di Bengkulu baik di tataran Pemerintahan Propinsi maupun di tataran Kabupaten/Kota di masa mendatang, sehingga penomena melakukan kebohongan-kebohongan publik tidak terjadi kembali dan isu perubahan bisa dilakukan dengan prayarat memiliki Legitimasi, Integritas dan Kompetensi.

Penulis adalah Orang Rejang Asli
Continue Reading | komentar

Perlengkapan Petani Masyarakat Rejang

Rabu


Sumber : rejangkeme

PANE

Pane merupakan alat angkut tradisional orang Rejang yang dibawa dengan menggendong atau dipikul dengan alat bantu berupa tali dengan ukuran panjang antara 1,5—2 meter. Alat angkut tradisional orang Rejang itu bersifat multifungsi. Pane itu terbuat dari anyaman kulit bamboo yang sudah tua yang dibuat dengan bentuk: bagian bawahnya empat persegi dan dibagian atasnya berbentuk bundar. Bagian bawah tertutup rapat dengan anyaman yang khas dan bagian atas terbuka—tempat memasukkan barang-barang yang akan diangkut.
Di bagian atap Pane pada pinggiran anyamannya kemudian diikat, dijalin rapat dengan rotan belahan dengan cara pengikatan yang sangat artistic dan berkualitas. Sekitar ¼ ukuran pane di bagian atas lebih kurang 7—10 cm disisipkan rotan belahan atau rotan bulat untuk / tempat tali dipasang. Tali pane itu terbuat dari kulit kayu khusus yang disebut tali pukut—yang dalam pengikatannya agar bias digendong dan disangkutkan ke atas kepala. Tali tersebut diikat sampai bagian bawah pane secara silang. Maksudnya untuk supaya kuat bila dimasukkan barang-barang yang akan diangkut.
Pane sangat multifungsi, gunanya bias mengangkut pakaian, padi dan beras, kayu baker, biji kopi mentah, sayuran dan lainnya.

Bahan-bahan Membuat Pane:
1. kuliat bambu (berusia tua) yang tahan dan biasanya sudah melalui proses pengawetan alami; direndam atau disimpan dengan rentang waktu yang ditentukan atau tidak.
2. rotan (yang sudah tua)
3. kulit kayu pukut (berusia tua).

Ukuran
Ukuran panen tergantung selera. Kalau pane itu berukuran kecil, tanpa menggunakan tali dan ikatan rotan di bagian atasnya disebut dengan bokoa serta bokoa itu pun beraneka ragam ukurannya.
Tingginya ukuran pane sudah ditentukan dengan mempertimbangkan keseimbangan ketika digendong. Kalau pane ukuran besar bias mencapai 1 meter lebih sedikit.

CITONG

Citong itu adalah alat dapur masyarakat rejang, terbuat dari bahan kayu yang berkualitas bagus. Gunakanya bias dibuat sendok besar untuk nasi, bias dijadikan untuk pengolah gorengan dengan ukuran tertentu. Bias juga dimanfaatkan (sesuai ukurannya) untuk keperluan lain di dapur.
Cara membuat citong sangat artistic. Bagian pegangannya dibuat sedemikian rupa sehingga bias dipegang oleh tangan (pas untuk dipegang)

CAKIK

Cakik adalah sejenis bokoa yang mirip dengan gentong (untuk jenis keramik). Uniknya cakik itu terbuat dari anyaman kulit bamboo atau rotan belahan dengan anyaman yang diselang-selingi dengan jarak tertentu. Untuk membuat lubang-lubang. Biasanya cakik digunakan untuk tempat sayuran, sebelum sayur dimasak, maka dicuci dulu di dalam cakik.
Cakik, juga dimanfaatkan untuk mencari ikan di kali-kali atau danau-danau kecil ataupun di petak sawah yang ada ikannya.

TUDUNG BKUWANG

Tudung Bkuwang merupakan topi (tudung) berukuran lebar terbuat dari anyaman daun bkuwang yang tumbuh di hutan-hutan bukit barisan di daerah Lebong. Tudung Bkuwang dibuat berbentuk lingkatan dengan bagian atas—bagian yang biasanya diletakkan di atas kepala berbentuk kerucut.
Cara menggunakannya, di bagian dalam tudung bkuwang diberi tali yang gunakan untuk supaya ketika dipakai tidak terbang atau jatuh. Talinya dapat dibuat dari apa saja dan ketika dipakai, tali tersebut melilit hingga dagu.
Semua alat-alat masyarakat Rejang tersebut dibuat dengan tangan-tangan trampil yang memiliki nilai seni tinggi. Baik dalam pembentukannya, penganyamannya, dan ada yang memberikan warna.

TELENG

Teleng adalah alat untuk menampi beras atau padi—agar menjadi bersih. Teleng terbuat dari anyaman kulit bamboo atau rotan belahan yang seluruh pinggir bagian atasnya diikat dengan rotan agar menjadi kuat. Teleng berbentuk panjang separuh krucut. Dari ujung bagian belakang (krucut) ke bagian depan bentuknya melebar dan terbuka di bagian atasnya.
Cara menggunakannya adalah dipegang bagian sisi kiri dan kanan dengan tangan, kemudian diayun-ayun dengan system naik turun. Padi atas beras yang ditampi (dibersihkan), biasa naik turun dan ketika turun membuat angin yang akan menghembuskan (mengeluarkan) kotoran dedak pada beras atau padi hampa pada padi.

SAMANG

Sambang adalah tempat minum yang biasanya digunakan oleh orang Rejang di kebun, sawah sebagai pengganti gelas atau cangkir tempat minum. Sambang itu terbuat dari potongan bambu yang ada ruasnya. Kemudian, kulit luar bambunya dikupas dan dihaluskan dengan pisau. Ukuran sambang sama dengan ukuran gelas atau cangkir, begitu juga tingginya.

Keterangan

Semua alat-alat rumah tangga orang Rejang di atas, bila dimiliki oleh sebuah keluarga merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Karena, tidak semua orang Rejang bias membuat pane, tudung bkuwang, cakik, bokoa atau teleng dan lainnya. Bagi yang tidak bias membuat, umumnya membeli dengan harga cukup terjangkau, tergantung bagus tidaknya kualitas alat-alat tersebut.
Continue Reading | komentar

Peradilan Adat Rejang dan Penomena

Sabtu

Oleh: Erwin S Basrin

Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak”, meski demikian Pemerintahan Belanda mengakui terhadap usaha penyelesaian sengketa local melalui peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disyahannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya termasuk juga dengan peradilan adat yang ada di Rejang Lebong.
Meskipun Negara dan kelompok-kelompok dominan terus mempertanyakan kesahihannya sebagai hukum, bahkan lebih dari itu juga berupaya untuk melenyapkan atau memaksakan mengenakan identitas hukum modern (hukum negara), tetapi peradilan adat mempunyai kemampuan untuk bertahan selain karena strategi asimilasi yang juga disebabkan oleh pembelaan yang panjang terhadap keberadaannya. Organisasi social-politik atau disebut juga kelembagaan adat komunitas local di Bengkulu dikenal dengan Marga dan Kutai ditingkat Kampung, lembaga inipun mampu menyelengarakan organisasi pengaturan diri sendiri (self governement), organisasi inipun bukan hanya kontruksi dari normal, aturan dan kelembagaan tetapi lebih dari itu pengaturan tersebut didasari oleh perangkat nilai dan pandangan hidup yang menjadi rujukan pada pembentukan norma dan tata aturan adat.
Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat di Rejang Lebong pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam. Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif.
Dalam kerangka inilah masyarakat adat di Rejang Lebong memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsure penjaga keseimbangan disamping hukum negara (pemerintah) dan hukum agama. Kondisi ini juga yang mendorong masyarakat menengok kembali system peradilan adat atau system peyelesaian sengketa local disamping sector peradilan nasional menjadi sector kenegaraan yang paling resisten terhadap tuntutan perubahan ke arah yang lebih jujur, terbuka dan taat azas.
Otonomi sebagai salah satu cakrawala baru yang memungkinkan komunitas-komunitas adat membangun dan mengembangkan identitas eksistensial adalah cita-cita dan peluang, disatu pihak Undang-Undang Dasar memungkinkan pergantian konsep Pemerintahan Desa dengan konsep Pemerintahan Adat seperti pada Amandemen II UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah juga menyebutkan bahwa Desa atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menungurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar ini selama 2 tahun terakhir Akar Foundation sebagai pendukung gerakan masyarakat adat di Bengkulu dan AMA Bengkulu sebagai organisasi gerakan bagi masyarakat adat dengan beberapa NGO pendukung melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah daerah Rejang Lebong agar pranata dan praktik peradilan adat yang masih melekat di masyarakat adat dalam keseluruhan sistim sosial budayanya diakomodasikan dalam berbagai produk regulasi di Kabupaten Rejang Lebong. Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang terkait dengan masyarakat adat acapkali bersumber pada peraturan perundangan yang terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa baik perkara pidana ataupun sengketa perdata terutama pada tetuterial masyarakat adat, Political Will Bupati Rajang Lebong dengan menerbitkan kebijakan daerah berupa Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang, perlu juga menjadi bahan diskusi karena SK ini menjelaskan bahwa sengketa dan masalah yang terjadi dalam masyarakat adat di wilayah Kabupaten Rejang Lebong, diupayakan dilaksanakan menurut hukum adat Rejang dan dilaksanakan oleh perangkat adat/lembaga adat yang disebut sebagai Jenang Kutai (eksekutor beberapa kasus/sengketa) padahal pada tata penyelesaian sengketa dalam peradilan adat Rejang forum Sukau dan Kutai merupakan forum pertama dalam penyelesaian sengketa yang amat menonjolkan pendekatan musyawarah. Selanjutnya Surat Keputusan (SK) Bupati Rejang Lebong No 93 Tahun 2005 Tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat Dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong, lebih rinci menjelaskan sumber acuan bagi perangkat adat/lembaga adat dalam mengupayakan penyelesaian secara adat atas sengketa/masalah yang terjadi di masyarakat adat di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. SK ini terkesan rancu akibat tidak melalui proses pendokumentasian dari beberapa tahapan penyelesaian sengketa banyak yang terputus bahkan ditiadakan akibat transper ilmu antar generasi yang tidak sempurna di samping lemahnya kapasitas beberapa pelaku pelaksana peradilan adat terutama memahami mekanisme penyelesaian local dengan beberapa aturan dalam hukum pisitif. Muatan substansi dari 2 buah SK ini lebih banyak membahas tentang tata cara peradilan adat di tingkat kampung terkesan unifikasi dan sangat elitis serta sarat dengan muatan politis yang hanya lebih rinci membahas penyelesaian seremonial dan tidak membahas secara holistik dan integralistik tentang penyelesaian sengketa dan persoalan-persoalan yang ada di tingkat kampung. Kedua SK ini selanjutnya akan dijadikan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Akar Foundation dan AMA Bengkulu menyadari tentunya tidak mudah untuk menyusun struktur dan system peradilan adat yang dapat mengambarkan seluruh struktur peradilan adat yang dipunyai oleh komunitas adat yang ada di Rejang Lebong baik sturuktur social, tingkat perkembangan masyarakat dan derajat asimilasi serta integritasnya dengan system dari luar, hal ini menjadi sangat menentukan struktur dan system peradilan adat tersebut berjalan dan dihormati oleh para pihak. Hal lain juga tentang luas dan sempitnya ruang hidup yang mampu dibangun oleh peradilan adat sangat terantung sejauh mana ia mampu menjawab problem legitimasi dan problem relasinya dengan hukum negara, problem legitimasi ini lebih merujuk pada sejauh mana peradilan ini mampu menjawab tuntutan keadilan pada tingkat komunitanya, sementara problem relasi dengan negara lebih merujuk pada pembagian yurisdiksi dan membangun kesepakatan-kesepakatan politik di daerah yang memungkinkan system peradilan adat bisa berjalan. Kebutuhan akan institusi dan kelembagaan lokal serta peradilan adat ini selain adanya peluang yang diberikan oleh negara serta adanya jaminan bagi keseimbangan juga berawal dari kebutuhan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, mengembangkan diri, mengawas jalannya proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di atas tanah ulayat dan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Tekat yang kuat juga untuk kembali kepada system peradilan adat di anggap juga sebagai respon terhadap runtuhnya legitimasi sitem peradilan nasional. Maka kegiatan ini adalah untuk menginisiasi dan membangun kembali system peradilan adat dengan membangun pondasi yang kokoh agar peradilan adat ini memiliki legitimasi yang kuat seperti:
proses politik untuk menguatkan system peradilan di selengarakan secara demokratik,
dan dalam implementasi dari system peradilan adat ini mampu menghasilkan putusan-putusan yang terpercaya dan dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak lainnya.
Continue Reading | komentar

Persoalan di Jurukalang

by : rejangkeme

System penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah, hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda (bundle of rights).

Di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Bundle of Rights dapat dilihat claim atas tanah antara Masyarakat Adat Khususnya Masyarakat Adat Jurukalang dengan Tanam Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Hutan Lindung, di mana kawasan peruntukan konservasi (Taman Nasional dan Hutan Lindung) hak kepemilikan tanah di pegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk menjunjung tinggi dan menikmati keindahan alam, sementara masyarakat adat yang berada di sekitar (Buffer Zone) memiliki hak untuk memakai (right of use) secara bersyarat sumber daya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka. Disini terlihat betapa satu pihak yang memilki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan.

Satu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan. Kepastian atas pengakuan ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan mengaskan sistem hukum dan persfektif yang sama, klaim pengusan tanah antara Masyarakat Adat Jurukalang dengan basis argumen tenurial geneologis berbenturan dengan beberapa tata aturan sektoral seperti agraria dan kehutanan.

Salah satu hak adat yang terabaikan atas penguasaan tanah di Kabupaten Lebong adalah keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang, dimana tanah ulayat yang mereka kelola sejak lama ikut dimasukkan ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tanpa ada kompromi.

Selain sejarah secara turun temurun terdapat beberapa dokumen tentang pengakuan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Adat, pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783, komunitas adat Jurukalang yang dikenal dengan sistem Petulai ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami.

Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.

Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak dan konflik antar kelompok baik masyarakat dengan masyarakat (horizontal) maupun dengan Masyarakat dengan Negara (vertikal). Akibat penerapan pola-pola lama penguasaan atas tanah oleh Negara yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu dijadikan stigma sebagai kambing hitam pelaku kejahatan dalam mengeksploitasi sumber daya alam ataupun sebagai perusak hutan atau imbo adat.

Hal ini Sangat tidak adil dan keliru, namun demikianlah kenyataan yang terjadi sehingga ditengah masyarakat terjadi konflik vertikal antara masyarakat dengan Pemerintah dan konflik horizontal terjadinya saling tuduh antar masyarakat, dimana masyarakat yang satu dituduh sebagai perusak hutan yang berakibat pada kurangnya debit air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat itu sendiri. Begitupun dengan konflik vertikal saling tuding antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya, sementara yang lain ingin menjaga dan melestarikan hutan dengan baik.

Dari kondisi yang ada tersebut, masyarakat Jurukalang yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat-nya mengharapkan bahwa masyarakat ingin agar Pemerintah dan berbagai pihak lainnya mau mengakui keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang yang kini berada dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat tersebut.

Berangkat dari permasalahan yang di hadapi Masyarakat (Jurukalang), maka diperlukan ketersediaan berbagai data dan informasi yang menyangkut keberadaan masyarakat Jurukalang dan pengelolaan wilayah adatnya. Kejelasan data dan informasi tentang kondisi faktual secara fisik dan sosial keberadaan masyarakat adat Jurukalang akan di gali dengan sistem pengalian data dasar. Data dan informasi ini akan menjadi salah satu bahan bagi upaya mendorong pengakuan oleh multi stakeholders terhadap eksistensi, hak akses dan kontrol masyarakat adat Jurukalang atas wilayah adatnya.
Continue Reading | komentar
Photobucket
 
Copyright © 2011. KUTAI TOPOS JURUKALANG . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly TOPOS Blogger